Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban. Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.Maka didalam akan membahaskan tentang manaqib.
Rumusan Masalah
Dalam hal ini, rumusan masalah yang akan di kaji diantaranya :
• Apa yang di maksud manaqib ?
• Bagaimana tata cara membaca manakib ?
• Bagaimana Pandangan Islam Tentang Manaqib ?
• Bagaimana Sejarah Hidup Syeh Abdul Qodir Jailani ?
Tujuan Penulisan
Tujuan dalam pembuatan ini diantaranya :
• Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan manaqib ?
• Untuk mengetahui Bagaimana tata cara membaca manakib ?
• Untuk mengetahui Bagaimana Pandangan Islam Tentang Manaqib ?
• Untuk mengetahui Bagaimana Sejarah Hidup Syeh Abdul Qodir Jailani ?
A.
MANAQIB
1.
Penjelasan tentang Manaqib
Kata “MANAQIB” berarti “Riwayat Hidup”. Penggunaan kata MANAQIB tersebut, biasanya dikaitkan dengan sejarah kehidupan seseorang yang dikenal sebagai tokoh besar pada suatu masyarakat, seperti tentang perjuangannya, silsilahnya, akhlaknya, dan lain-lain.
Sebenarnya, sejak jaman dulu (sebelum, semasa hidup, sesudah wafat) Nabi Muhammad SAW, manakiban (pembacaan manaqib) sudah ada dan diuraikan di dalam Al-Qur’an; seperti manaqib Maryam, manaqib Dzulqarnain, manaqib Ash-Habul Kahfi, dan lainnya.
Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Mu’min, ayat 78:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.”
Firman Allah SWT di dalam Surah An-Nisaa’, ayat 164:
“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (***
(***Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. Dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi’raj.
Ayat-ayat di atas apabila diteliti, maka didapat pengertian bahwa kita dianjurkan Allah SWT untuk melakukan penelitian sejarah, baik yang berasal dari Al-Qur’an, Al-Hadits, maupun sumber lain yang dapat dipercaya. Dan selanjutnya dianjurkan untuk diceritakan kepada umat (secara lisan maupun tulisan)
Manaqiban itu suatu bentuk kegiatan upacara pembacaan riwayat hidup seorang tokoh ulama (sufi) yang sangat kharismatik dan memiliki banyak karomah, seperti Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, Syaikh Samman, Syaikh Hasan Syadzili, dan lain sebagainya. Dengan maksud, antara lain:
1. Untuk mencintai dan menghormati dzurriyyah Nabi Muhammad SAW. Seperti firman Allah SWT di dalam Surah Asy-Syura, ayat 23. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Pengertian ayat tersebut, bahwa seseorang yang mencintai atau menghormati sesama keluarga sangat dipuji Allah SWT; apalagi mencintai dan menghormati keluarga nabi Muhammad SAW.
2. Untuk mencintai para shalihin, auliya’, dan lainnya. Seperti anjuran Nabi Muhammad SAW, seperti diurai di dalam hadits “Siapa saja yang memusuhi wali-KU, maka aku umumkan perang kepadanya” (HR. Bukhory dari Abi Hurairah)
3. Untuk meneladani perilaku kesufiannya.
B.
Tata Cara Manakib
Sudah menjadi budaya dalam membaca manaqib harus terlebih dahulu diawali dengan khadloroh dan kemudian membaca tahlil bersama-sama,pemimpin atau yang membaca manaqib baru memulai membaca manaqib dengan beberapa membaca sholawat nabi.
Manaqib yang dibaca mayoritas masyarakat adalah kitab atau buku yang dikarang oleh al-Mukarrom Ibnu Latif Hakim muslikh Ibn Abdurrohman al-Maroqi.
C.
Pandangan Islam Tentang Manaqib
Banyak kita jumpai orang yang sangat mengagung-agungkan “ibadah” bacaan manaqib bahkan melebihi ibadah sunnah. Mereka berkeyakinan agar “wasilahnya” cepat sampai dan terkabul. Misalnya, membuat ayam ungkep utuh (ingkung-Jawa), yang dimasak oleh wanita suci dari hadast, lalu yang boleh menyembelih harus orang sudah berijazah dari gurunya (telah mengkhatamkan bacaan manaqib sebanyak 40 kali). Di saat pembacaan manaqib, sudah menjadi keyakinan bagi para jamaahnya untuk membawa botol berisi air yang diletakkan di depan Imam atau gurunya, konon air tersebut dipercaya membawa berbagai macam berkah. Khasiat lainnya yakni apabila seseorang mempunyai keinginan tertentu (usaha dan rejeki lancar, pandai, atau nadhar lainnya), mereka membaca bersama-sama pada hari yang ditentukan, misalnya tiap Rabu Kliwon, Pon, bahkan ada yang disertai dengan pembakaran kemenyan atau parfum wewangian agar ruh sang tokoh hadir ikut mendoakannya, karena “konon” ada pendapat bahwa Syaikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata, “Dimana saja dibacakan manaqib-ku aku hadir padanya”
Para pelaku manaqib tersebut berkeyakinan, bahwa bacaan itu adalah suatu amalan agung yang di ajakan guru-gurunya meskipun tidak jelas sumber asalnya. Namun jika kita kaji lebih dalam, kata manaqib berasal dari “manqobah” berarti kisah tentang kesolehan, dan amal seseorang. Jadi membaca manaqib, sama saja dengan membaca biografi atau cerita kebaikan seseorang Namun sayang, manaqib disini banyak mengisahkan cerita-cerita bohong, dan tidak masuk akal. Ironisnya lagi, dengan dalih sebagai bukti kecintaannya kepada waliyullah, mereka selalu membaca, mengingat, bahkan memanggil dan memohon roh wali yang sudah mati (Abdul Qodir Jailani-red) untuk perantara.
Jika sudah seperti ini yang di dapat adalah…..kesyirikan. Karena menghadirkan roh orang yang sudah mati adalah mustahil, yang datang adalah jin yang berubah rupa atas bantuan tukang sihir bangsa jin. Sedangkan berbagai cara dan persyaratan ritual manaqib sangat mirip sekali dengan cara-cara zaman jahiliyah dan budaya orang-orang musyrik dalam berinteraksi dengan para dewanya (bangsa jin). Bedanya sekarang mereka beralasan tidak menyembah roh tapi sebagai bentuk taqarruban (mendekatkan diri) dan wasilah (perantara) kepada Allah. Padahal Allah sendiri telah memperingatkan dengan keras dan tegas dalam firman-Nya:
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 14)
Bahwa membaca manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah haram, didasarkan pada aqidah wahabi dan segolongannya, yang anti terhadap berbagai bentuk ritual Islam yang tidak ada tuntunannya di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah. Mereka beranggapan bahwa, segala bentuk ritual agama yang tidak ada tuntunannya adalah bid'ah. Dan mereka berpendapat bahwa "kullu bid'atin dlalalah" (setiap bid'ah atau perilaku baru yang tidak ada tuntunannya secara tekstual di dalam nash adalah bid'ah).
ا يا كم ومحد ثا ت الا مور فا ن كل بد عة ضلا لة (رواه ابو داود والرمذي)
Hindarilah amalan yang tidak Kucontohkan (bid’ah), karena tiap bid’ah menyesatkan”, (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Jadi tidak seluruh bid’ah itu adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar imam Syafi’I Ra :
المحد ثا ت ضربان ما احد ث يخالف كتا با او سنة او اثرا اوجما عا فهذه بد عة الضلا ل وما احد ث من الخير لا يخا لف شيأ من ذالك فهي محد ثة غير مذ مومة
“Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam : sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) yang bertentang dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, perilaku sahabat , atau kesepakatan ulama, maka termasuk bid’ah yang sesat: adapun yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (Al-Qur’an, Hadits, prilaku Sahabat atau Ijma) maka sesuatu itu tidak tercela (baik) ”. (Fat al-Bari, Juz XVII: 10)
Adapun menurut tuntunan kaum salaf, dalam aqidah ahlussunnah wal jamaah, membaca Manaqib para wali, itu baik (mustahab), karena dapat mendatangkan kecintaan terhadap para wali dan untuk bertawassul kepada para wali Allah. Adapun memberi makananitu hukumnya sunah, kalau dengan maksud untuk memberikan shadaqah dan bertujuan untuk memulyakan tamu. Dalam hadist dinyatakan, yang artinya, “Siapa yang beriman kepada Allah, supaya menghormati tamunya”.
D.
Sejarah Hidup Syeh Abdul Qodir Jailani
Sayidi Abdul Qadir Jailani adalah seorang ulama terkenal. Beliau bukan hanya terkenal di sekitar tempat tinggalnya, Baghdad, Irak. Tetapi hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenalnya. Hal itu dikarenakan kesalihan dan keilmuannya yang tinggi dalam bidang keislaman, terutama dalam bidang tasawuf.
Nama sebenarnya adalah Abdul Qadir. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar seperti; Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan sebagainya. Sayidi Abdul Qadir Jailani adalah ahli bait keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah keturunan Mawlana al-Imam Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qadir Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah Imam ‘Ali bin Abi Thalib.
Sayidi Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 1077 M / 469 H. Pada saat melahirkannya, ibunya sudah berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang namanya terdapat julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang terbiasa menambahkan nama mereka dengan nama tempat tinggalnya.
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah. Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.
Kesimpulan
Kata “MANAQIB” berarti “Riwayat Hidup”. Penggunaan kata MANAQIB tersebut, biasanya dikaitkan dengan sejarah kehidupan seseorang yang dikenal sebagai tokoh besar pada suatu masyarakat, seperti tentang perjuangannya, silsilahnya, akhlaknya, dan lain-lain.
Manaqiban itu suatu bentuk kegiatan upacara pembacaan riwayat hidup seorang tokoh ulama (sufi) yang sangat kharismatik dan memiliki banyak karomah, seperti Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, Dengan maksud, antara lain:
1. Untuk mencintai dan menghormati dzurriyyah Nabi Muhammad SAW
2. Untuk mencintai para shalihin, auliya’, dan lainnya
3. Untuk meneladani perilaku kesufiannya.
Adapun menurut tuntunan kaum salaf, dalam aqidah ahlussunnah wal jamaah, membaca Manaqib para wali, itu baik (mustahab), karena dapat mendatangkan kecintaan terhadap para wali dan untuk bertawassul kepada para wali Allah. Adapun memberi makananitu hukumnya sunah, kalau dengan maksud untuk memberikan shadaqah dan bertujuan untuk memulyakan tamu. Dalam hadist dinyatakan, yang artinya, “Siapa yang beriman kepada Allah, supaya menghormati tamunya”.
Sumber : http://alimpolos.blogspot.co.id/2014/05/manaqib.html